Bantul (NewsFlash-RI) Pelajar Papua, menurut seorang peneliti, baru masuk ke Yogyakarta sekitar tahun 1970-an, berbeda dengan sebagian pelajar daerah lain yang sudah lebih dulu menjejak Jogja pada 1940 atau 1950-an. Puncak gelombang kedatangan pelajar Papua menuju Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi tahun 1990-an sebagai bagian dari komitmen pemerintah Indonesia memajukan provinsi Irian Jaya pada saat itu.
Salah satu lembaga Pendidikan yang memiliki banyak Para pelajar dari Papua ini yaitu SMA Stella Duce Bantul. Lembaga pendidikan swasta katolik ini dibawah Yayasan Tarakanita yang berdiri sejak tahun 1979 berada di Ganjuran, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul yang telah terakreditasi "A".
SMA Stella Duce Bantul sebagai Lembaga Pendidikan Katholik menekanan terbentuknya manusia dengan kepribadian utuh : berwatak baik, beriman, jujur, bersikap adil, cerdas, mandiri, kreatif dan terampil, berbudi pekerti luhur, berwawasan kebangsaan dan digerakkan oleh kasih Allah yang berbela rasa terhad
ap manusia terutama mereka yang miskin, terisih dan menderita.
Sekolah dengan nuansa desa jauh dari kebisingan dan polusi. Lokasinya berdampingan dengan tempat peziarahan umat katolik terkenal Candi Tyas Dalem Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. Paska gempa gedung sekolah telah dibangun dengan konstruksi tahan gempa, serta tata ruang yang mendukung kenyamanan dan kesejukan dalam belajar.
Keberadaan pelajar asal Papua di wilayah Kab. Bantul tentunya tidak terlepas dengan interaksi dengan masyarakat di sekitarnya. Adanya dugaan rasisme yang terjadi di Malang dan Surabaya telah menciptakan jarak antara warga dengan pelajar Papua yang terlebih berhubungan dengan semangat kebangsaan dan bernegara dalam bingkai NKRI.
Banyaknya issue serta tekanan bagi pelajar maupun mahasiswa yang murni berniat belajar di Jogja terkait kejadian di Jawatimur tersebut menciptakan peluang bagi kelompok pro kemerdekaan untuk mempengaruhi mereka. Hal ini menjadi dilematis saat adanya pandangan sebagian masyarakat yang kurang mendalami permasalahan mereka sehingga dapat menciptakan sudut pandang yang tidak bersahabat terhadap mereka dalam berinteraksi. Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian pelajar asal Papua ini dilematis saat sebagian besar para pelajar Papua yang murni berniat belajar menjadi terseret kedalam konflik perpecahan dalam berbangsa. Adanya situasi ini menjadi yang rawan dimanfaatkan oleh pihak – pihak tertentu untuk memperkeruh situasi, sehingga perlu dilakukan tindakan nyata dari para pemangku kepentingan pemerintahan yang bijak dalam menangani mencari jalan tengah guna merangkul kembali mereka kedalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Acy)
0 Comments